Minggu, 20 November 2011

“Menteknologikan Manusia” sebagai antitesis “Memanusiakan Teknologi”

“Menteknologikan Manusia” sebagai antitesis “Memanusiakan Teknologi”

Hasil perenungan jiwa yang mendalam (bukan hasil galau belaka!) karya Valentino Gratia

Dunia hari-hari ini benar-benar individualis. Kita benar-benar disibukkan dan seolah-olah terjepit dan terdesak oleh suatu “sistem” yang membuat kita terdorong untuk hanya mempedulikan diri sendiri. Kemudian karena dorongan dan desakan tersebut, kita jadi tidak ada waktu lagi untuk merenungkan seperti apa peradaban manusia (dan teknologi adalah salah satu peradaban manusia) di masa depan nanti.

Pernahkan anda merenung sejenak dari kesibukan dan kejenuhan anda sehari-hari dan kemudian pikiran anda terajak untuk menemukan pertanyaan-pertanyaan ini:
Kenapa manusia harus mengalami kelelahan saat harus membawa beban berat atau di medan tanjakan?Bisakah proses “belajar” digantikan dengan suatu proses lain yang lebih cepat, lebih simpel, dan tetap menghormati hak privasi orang lain?Mengapa suasana hati atau perasaan emosional manusia harus ditentukan oleh serangkaian reaksi kimiawi yang saling berkaitan dan kompleks? Bisakah reaksi tersebut dikendalikan dengan suatu “sistem” tertentu agar tidak ada lagi yang namanya rasa kecewa, rasa dendam, rasa benci, amarah berlebihan dan yang lainnya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin tidak pernah muncul di pikiran anda. Tetapi jujur, pertanyaan seperti itu rasanya menumpuk di kepala saya karena belum saya kemukakan sama sekali ke orang lain (selain orang tua saya).

Saya kemudian merenung dan menyadari bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, kita hanya menggunakan dan memanfaatkan teknologi tetapi teknologi itu sendiri tidak benar-benar menyatu dengan diri kita.
Dengan kata lain manusia dengan teknologi terpisah satu dan yang lainnya.

Pertanyaan pertama membawa saya pada suatu konsep mengenai manusia – mesin di masa depan. Mobil dengan sistem transmisinya dengan gearbox dan gir (roda gigi) yang melengkapinya berfungsi untuk menyesuaikan momen gaya mesin disesuaikan dengan beban dan kecepatan roda. Apa yang saya ketahui tersebut membawa saya pada mimpi suatu saat nanti manusia bisa bergerak dengan berbagai macam tingkat kecepatan (dilengkapi sistem transmisi) tetapi dengan modifikasi tertentu agar bisa disesuaikan dengan otot-otot (komponen biologis) yang ada pada kaki manusia.
Kemudian, saya teringat lagi bahwa mobil (atau kendaraan pada umumnya) punya tingkat percepatan karena gerak poros pada mesinnya adalah gerak rotasi, bukan gerak translasi. Sedangkan berbagai macam gerak yang bisa dilakukan manusia adalah gerak translasi. Karena ketidakmampuan manusia menghasilkan gerak rotasi, saya tambahkan satu konsep lagi bahwa di masa depan nanti ada suatu “konverter” yang bisa mengubah gerak translasi pada manusia bisa diubah menjadi gerak rotasi.

 Pertanyaan kedua dan ketiga membawa saya pada suatu konsep bahwa komponen biologis pada otak manusia akan dimodifikasi / ditambahkan suatu rangkaian elektronika dengan modifikasi tertentu. Rangkaian elektronika tsb ada port-nya (misalnya USB pada saat ini) dan bisa dihubungkan dengan suatu storage device semacam harddisk atau removable device seperti misalnya flash memory untuk penyimpanan sementara. Rangkaian elektronika tersebut punya suatu chip sentral yang berfungsi untuk mengendalikan mengkonversikan sinyal-sinyal listrik pada rangkaian elektronika menjadi sinyal-sinyal (impuls) yang bisa diterima oleh sistem syaraf manusia.
Kita misalkan kemampuan, bakat, talenta yang dimiliki manusia adalah analog dengan software atau perangkat lunak pada komputer. Misalkan saya bisa berhitung, saya bisa memasak, atau bisa apalah yang lainnya. Kemudian ada orang lain yang ingin belajar pada saya. Nah, di masa depan kita tidak perlu belajar repot-repot lagi. Kita bisa saling bertukar pikiran, bertukar bakat, bertukar talenta antara satu dan yang lainnya dengan saling menghubungkan port pada manusia satu dengan port pada manusia yang lainnya.
Kemampuan manusia yang analog dengan software tsb ditentukan dalam suatu sistem perlindungan hak cipta. Semakin tinggi tingkat kemampuan software-nya semakin mahal harganya dan setiap orang yang memiliki kemampuan berhak untuk menentukan sendiri harga kemampuan (atau software) yang dimilikinya jika orang lain ingin “belajar” atau “mengunduh” kemampuannya.
Chip central tersebut juga berfungsi sebagai konverter terhadap komponen biologis manusia yang kerjanya mengendalikan reaksi kimia yang mengendalikan emosi pada manusia. Harddisk atau storage device masa depan yang terhubung dengan rangkaian elektronika tadi menyimpan serangkaian perintah (atau setting-an tertentu) yang mengatur regulasi / pengeluaran zat-zat kimiawi yang mengatur emosi manusia. Tujuannya agar reaksi kimia beserta pengeluaran zat kimiawi yang mengendalikan emosi kita tersebut bisa kita atur agar tidak berlebihan. Dengan demikian, kita bisa mengatur dan menunda perasaan emosi kita yang seringkali tidak ada gunanya.

Semua mimpi tersebut, membawa saya pada suatu kesimpulan bahwa di masa depan nanti, entah itu 1 abad atau 2 abad kemudian, manusia dengan teknologi bukan 2 komponen yang terpisahkan lagi seperti pada saat ini. Kata “memanusiakan teknologi” yang menjadi filsafat pada perkembangan teknologi dan kemajuan manusia yang pada dasarnya merekayasa dan menyesuaikan semua alat agar “manusiawi” berubah menjadi suatu filsafat bahwa di masa depan nanti, kata ini menjadi “menteknologikan manusia”. Bukan teknologi lagi yang dipaksa agar bisa “manusiawi”, agar menyesuaikan diri dengan kita. Kita juga di”teknologi”kan dengan modifikasi-modifikasi tertentu.
Meskipun konsep dan implementasi dari modifikasi-modifikasi yang saya sebutkan tadi belum dikonkretkan (bisa dinyatakan dan benar-benar dijabarkan), atau dalam kata lain hanya mimpi.


Keyakinan saya tersebut didasari dari logika atau akal (sistem otak kiri) saya. Otak kanan (perasaan) mengingatkan saya, bahwa Tuhan yang menentukan semuanya ini bisa terjadi. Akhirnya saya bertanya dan membawakannya pada doa, “Tuhan, saya bukannya ingin mendahului Engkau. Aku tahu aku harus mensyukuri apa yang aku punya. Tapi apa daya kodratku ini memaksa aku untuk bermimpi melebihi batas-batas yang Engkau tentukan. Apakah engkau mengizinkan mimpiku ini terjadi, Tuhan? Apakah aku berdosa dengan mimpi-mimpi ku ini yang terdengar gila?”

Saya sadari, mimpi-mimpi saya tadi memang terdengar gila, diluar kebiasaan, di luar batas, di luar kelaziman, bahkan mungkin diluar norma-norma yang ada. Adalah tujuan etis bagi saya, untuk membagikan dan men-sharing-kan mimpi saya melalui tulisan ini. Saya harap anda bisa mengkomentari pendapat saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar