Kamis, 29 Desember 2011

PLAYING GOD?

PLAYING GOD?
Maykada Harjono
(disadur dari Majalah IT PC Media, edisi Agustus 2010)

Film Teminator salah, kiamat tidak terjadi tahun 1997. Ya, tapi Terminator benar, manusia akhirnya kalah dari mesin.

Betul, manusia sekarang dijajah mesin bernama jaringan Internet, kata teman saya sambil tersenyum. Komentar tersebut terjadi sambil lalu, antara saya dan teman di Facebook. Penulis cerita di film Terminator 2 mengambil rentang waktu terlalu pendek, 1997. Judgement Day nyatanya tidak terjadi. Arnold Schwarzenegger tidak perlu repot menghalau manusia robot yang die hard, sudah matinya!

Manusia mengambil kuasa Tuhan, menentukan hari kiamat. Playing God-kah? Entah kenapa, ada pihak yang gemar memakai istilah ini, padahal potensinya berbahaya. Di game memang dikenal istilah “God Mode”, tapi game bukanlah kenyataan. Mengibaratkan manusia sebagai Tuhan, seperti sosok Firaun dulu. Akibat sikap takabur yang kelewat batas, akhirnya dia binasa, kelelep di Laut Merah. Apakah pihak yang berkuasa mampu membuat peraturan aau keputusan dengan semena-mena, sedang memainkan peran sebagai Tuhan? Nanti dulu. Mari kita lihat contoh-contoh berikut.

Tim dokter RSCM sukses memperpanjang umur kembar siam Ana-Ani. Hakim MA memutuskan Amrozi dkk ajalnya berakhir di ujung pelor. Densus 88 berbekal “license to kill” mencabut nyawa 4 teroris di Solo. DPR dan Presiden membuat UU sehingga Prita menginap di penjara gara-gara e-mail.

Apakah mereka semua sedang playing God? Mari kita balik situasinya. Presiden SBY stress, tak bolah lambaikan tangan oleh Paspampres. Setiap tahun, 350 polisi dipecat karena melanggar HAM. Komisi Yudisial meminta pemecatan 2 hakim akibat melanggar kode etik. Diduga lakukan malpraktek, dokter RSCM dipolisikan.

Nah, kalau begini, apa masih bisa disebut playing God? Presiden tuntuk pada pengawalnya, yang terikat oleh aturan pengamanan presiden. Aturan disahkan oleh DPR. DPR dan Presiden dipilah oleh rakyat. Menguasai dan dikuasai menjadi sangat relatif. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki ketergantungan dengan manusia yang lain. Aturan dibuat agar terjadi keharmonisan dalam hubungan antarmanusia, syaratnya, aturan tersebut sesuai kaidah-kaidah yang ada dan dipatuhi bersama. Seperti dalam permainan, bila tidak ada aturan, bagaimana permainan akan dilakukan?

Baiklah, tapi saya seorang pembuat program, dan ingin membuat bahasa komputer sesuka saya. Saya ingin menukar keyword const (konstanta berupa kata kunci) untuk menyatakan variabel, dan var untuk menyatakan konstanta. Tidak masalah, itu hal mudah. Saya mengerti, mesin mengerti, dan program berjalan. Tapi masalahnya, siapa orang yang mau memakai bahasa saya dan menganggap saya adalah Tuhan?

Kita pasti kenal Intel sebagai jawara processor PC nomor satu. Suatu ketika, Intel ingin mengubah dunia. Dibuatlah processor 64-bit bernama Itanium. Saya adalah PC, dan PC adalah saya, barangkali begitu di benak orang dalam Intel. Tapi Intel kecele, karena Itanium nasibnya seperti lagu Wali, tak laku-laku! Microsoft pun emoh melanjutkan Windows versi workstation untuk Itanium. Intel banting setir, gagal menjadi Tuhan, dan malah menjadi hantu AMD dengna melisensi x64.

Mahakuasa adalah salah satu sifat Tuhan. Dalam Islam, sifat Tuhan diuraikan menjadi 99 nama atau Asma’ul Husna. Manusia mencitrakan sifat-sifat yang dimiliki Tuhan, tetapi bukan lantas berperan sebagai Tuhan. Saya terkenang kata-kata pengasuh majalah Sufi, bahwa Tuhan tidak terikat dengan ruang dan waktu. Manusia berkuasa karena diberi ruang oleh sesamanya, dan tersedia waktu untuknya bekerja. Apapun yang dilakukan manusia, pasti terikat ruang dan waktu. Sangat sulit membayangkan tidak mengenal ruang dan waktu. Teori fisika modern karya Albert Einstein, E = mc2 (termasuk teori lainnya yaitu kecepatan relativistik, dilatasi waktu, perubahan panjang, perubahan massa, dan momentum dan energi relativistik) tidak berlaku di sini. Sungguh abstrak dan absurd.

Di hari kebangkitan nasional yang kian terlupakan, seorang sejarawan mengingatkan, pendiri republik ini adalah pemimpin cerdas dan tercerahkan. Otaknya cair dan hatinya juga cair. Hasilnya, bangsa Indonesia yang besar. Meminjam kuasa Tuhan, setiap kita adalah pemimpin dalam ruangnya masing-masing. Nah, apakah barang pinjaman itu akan kembali dalam wujud batu yang rawan hancur sewaktu-waktu, ataukah air yang mengalir sampai jauh? Mari sama-sama kita renungkan.

posting: 16/06/2011, 18.30 

Korupsi dan Keluhuran, sebuah kritik berbau ilmiah karya Jansen Sinamo

Korupsi dan Keluhuran
(Jansen Sinamo – disadur dari KOMPAS edisi 21/06/2011)

Seorang profesor fisika, Pantur Silaban namanya, dosen kami dulu di bandung berkata bahwa alam tidak pernah korupsi. Elektron, misalnya hanya bersedia menerima jatah energi yang sudah ditetapkan alam baginya sebesar kelipatan bulat konstanta Planck.*

Alam bekerja dengan prinsip “secukupnya”, tidak pernah kelebihan dan tidak pernah pula kekurangan. Ini sesuai pula dengan selarik doa klasik (sebenarnya doa Bapa Kami), “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.” Bukan makanan lima tahun untuk pemilu berikutnya!

Ini mengejutkan seisi kelas pagi itu. saat itu kami tidak sedang mengikuti kuliah Pancasila atau Agama atau Etika, tapi kuliah Fisika Kuantum yang super-rumit.

Namun, pada titik inilah sesungguhnya sang profesor berhasil menampilkan fisika melampaui aspek teknisnya dan menonjolkan wajah keluhurannya yang mulia dan cemerlang. Di tangan dosen ini fisika yang kuyup dengan matematika canggih itu tiba-tiba bisa berubah menjadi kuliah keluhuran dan keagungan. Jelas teringat, hati kami selalu tergetar pada momen-momen “intermeso” begini.

Sosok Silaban pasti tidak ada di benak B Herry Proyono, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta – ketika Ia mengatakan dalam endorsement sebuah buku, “Mendidik bukan pertama-tama urusan membuat murid pintar pelajaran matematika atau ekonomi, tetapi urusan kesetiaan menemani murid untuk menghasrati apa yang luhur dan memperoleh kebiasaan-kebiasaan hidup yang luhur. Pelajaran fisika ataupun geografi, sastra ataupun ekonomi, adalah sarana mendidikkan hasrat dan kebiasaan luhur itu.”

Tampaknya semua guru sejati sangat paham soal ini: sesudah materi yang teknis-matematis-faktual disajikan, sebuah mata pelajaran harus disublimasikan ke wilayah keluhuran sehingga para murid berkesempatan mencicipi nektar surgawi pelajarannya. Tapa nektar ini pelajaran sekolah apapun niscaya kehilangan madu-esensinya yang lezat, lalu hanya menjadi beban otak belaka, yang menjenuhkan dan segera terlupakan.

Serba berjamaah

Maka, kita sungguh kaget-tersentak oleh kisah nyontek berjemaah Mei lalu, yang justru difasilitasi oleh guru-guru di sebuah SD  di Jawa Timur. Sungguh sebuah ironi apabila ditengok dari kacamata pendidikan dan keguruan yang telah menjadi sendi peradaban dunia sejak era Confusius (Kung-fu Tzu) dan Socrates.

Ironi ini segera berubah menjadi tragedi saat Alif dan ibunya, Siami, yang menolak mencemarkan diri dan coba tampil menjadi protagonis keluhuran itu justru dijahati oleh massa yang dimobilisasi para penikmat proyek nyontek massal itu. kita mengurut dada, berduka, dan bertanya: Quo vadis pendidikan? Quo vadis keguruan? Quo vadis keluhuran? Quo vadis indonesia?

Ini harus kita jawab dengan tuntas dan saksama karena profesi keguruan adalan bunda semua profesi pengelola bangsa: hakim, jaksa, pengacara, polisi, politikus, birokrat, pebisnis, dan lain-lain. Secara operasional kita tahu, negeri bernama Indonesia ini sesunguhnya diselanggarakan oleh ratusan profesi mulia pada berbagai bidang kenegaraan di semua eselon administrasi dan tingkat operasi-birokrasi.

Akan tetapi, kalau bunda keluhuran dan bunda Indonesia ini, yakni kaum guru, dosen, pendidik, pengajar, widyaiswara, manggala, dan pembina, sudah rusak di hulunya, sangat mungkin terjadi bencana “sarus-marus” (satu rusak, semua rusak) di negeri kita.

Saya memang curiga, profesi keguruan yang sejatinya harus menjadi profesi utama dalam sebuah bangsa sejak Indonesia merdeka – terutama pada era Orde Baru – telah dipinggirkan secara sistematis menjadi profesi yang marjinal dan miskin. Profesi keguruan dikudeta oleh politikus dan kemudian militer. Buahnya kita tuai sekarang: keguruan Indonesia rusak parah sejak lama, dan sebagai akibatnya di daerah hilir profesi-profesi yang mengelola negara ini juga ikut rusak berat.

Wujudnya adalah korupsi besar-besaran yang terjadi di seua lini negara; eksekutif, legislatif, dan yudikati, serta berlangsung secara berjemaah, lintas profesi dan lintas sektur. Inilah sekarang yang disebut rezim kleptokrat.

Hidupkan keluhuran

Keluhuran, kemuliaan, dan keagungan adalah sublimasi kemanusiaan kita, yang di tingkat negara dirumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Keluhuran ini adalah bentuk tertinggi hidup kita yang jasmaniah, material, dan intelektual.

Apabila keluhuran ini merosot. Kehidupan di semua tingkat juga merosot, mendangkal, dan memburuk. Hidup menjadi serba sesak-sempit, didominasi hal yang material-komersial. Tak ada lagi pengorbanan, pelayanan, dan gotong-royong. Hilang sudah kejujuran, keadilan, dan persaudaraan. Telah lenyap bela rasa, kebaikan, dan cinta kasih. Indonesia terancam menjadi negara gagal bukanlah kekhawatiran berlebihan.

Maka keluhuran harus segera disemarakkan lagi dengan segera dan secara masif. Inilah tugas keguruan dan pendidikan sesungguhnya.

Kini Ibu Pertiwi memanggil semua guru. Bukan hanya mereka yang 3 juta dibawah naungan Kementrian Pendidikan Nasional, melainkan semua guru dalam semua organisasi bangsa, termasuk guru jemaat, guru mengaji, guru piano, guru karate, dan guru menjahit, hingga semua guru besar formal di universitas.

JANSEN SINAMO
Direktur Institut Darma Mahardika, Tinggal di Jakarta

Keterangan:
*) konstanta Planck : konstanta yang sering digunakan dalam Fisika Modern dan Fisika Kuantum
Harganya: h = 6,63 × 10-34 Js

Jumat, 02 Desember 2011

Membangun Karakter Bangsa

Oleh Bakdi Soemanto

(disadur dari KOMPAS edisi 23 Agustus 2011)

Dengan menyeruaknya berbagai masalah bangsa, semakin jelas bahwa salah satu sumber masalah adalah hilangnya kepercayaan masyarakat kepada para pemimpin, pejabat, dan petugas, di semua bidang.

Seorang supir taksi dari Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, berkomentar, “sepertinya Negara dengan segala aturannya sudah hilang. Orang boleh berbuat semau gue. “

Komentar semacam itu bisa dijaring dengan gampang di jalanan, di pasar, atau di mal. Opini tidak berdiri sendiri. Ia muncul karena menanggapi suatu kejadian. Nada dasar omongan orang jalanan itu, kalau ditangkap dengan telinga hati, menunjukkan kekecewaaan mendalam masyarakat kepada para pemimpin pemerintahan sekarang.

Dalam keseharian, tampak sederetan kebijakan dan kepututsan yang terasa kurang pas bagi akal sehat dan bahkan mengganggu rasa keadilan. Ketidakberesan di biarkan seakan-akan memang sudah sewajarnya. Semua ini membuat desas-desus tentang ketidaktepatan kebijakan terus berguir, yang menjadi benih-benih ketidakpercayaan kepada para pengambil keputusan. Bukankah ini potensi yang mengancam kohesivitas masyarakat?
Tidak sejalan

Gejala yang sangat menggelisahkan sekarang ini adalah yang dikatakan tidak ada hubungannya dengan yang dilakukan. Kata-kata ibart jagat maya yang bermain sendiri dan jumpalitan dengan kesibukannya, sama sekali tidak terkait dengan jagat realitas di dunia fana. Oleh karena itu, berbagai macam rumusan moral, budi pekerti, kearifan lokal, dan seterusnya tidak menunjukkan sentuhan yang efektif.

Semua ini menunjukkan ketidakjelasan arah tentang karakter bangsa . mungkinkah persoalan yang begitu kompleks bisa diatasi dengan budi pekerti, pendidikan Pancasila, dan khotbah para pemuka agama? Belajar dari pengalaman menatar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) pada era Orde Baru, saya ingin mengatakan bahwa cara-cara seperti itu tidak akan membawa hasil.

Sekian ratus tahun lalu orang sangat percaya bahwa “pada awal mula adalah kata dan kata menjadi daging”. Sekarang itu berubah menjadi “pada awal mula adalah kata dan kata tetap menjadi kata”.

Rendra pernah menulis sajak: “Perbuatan adalah pelaksanaan kata-kata”. Sekarang , “kata-kata adalah lanjutan permainan kebijakan politik”.

Puruts asa? Dengan tegas, saya jawab, “Tidak!” Kita masih bisa membenahi secara konkret dan langsung kena sasaran.

Perilaku semaunya

Di jalanan, kesemrawutan semakin hebat. Berbagai kota diserbu motor. Semua motor itu desainnya hampir sama: mirip dengan motor yang lari di arena balapan dengan kecepatan minimal 200 km/h.

Jadi, tampian para pengendara motor di jalan menjadi sangat mengerikan. Mereka memamerkan keterampilan super tanpa disertai kesadaran bahwa mereka di jalan umum, bukan di arena balapan. Dengan tenangnya, mereka berbondong-bondong di jalan umum mengendarai motor di sisi kanan jalan. Kadang, di sudut jalan ada dua atau tiga polisi, tetapi mereka tak tergerak menghentikan.

Polisi lalu lintas hanya tertarik mengurusi SIM, STNK, dan plat nomor. Setiap terjadi benturan antarkendaraan yang diusahakan adalah “damai saja”, bukan mengusut mana yang salah dan mana yang benar.

Banyak orang asing – ada Belanda, Amerika, Inggirs, dan Perancis – mengadu kepada saya tentang hal ini. Mereka tak paham hal-hal semacam ini, tetapi menjadi paham mengapa Pemerintah Indonesia tak bisa atasi korupsi: karena filsafat damai.

Salah satu sumbernya adalah kemudahan membeli motor dan mendapatkan SIM. Dengan uang Rp 500.000,- orang bisa bawa pulang motor baru. Dengan satu kali “tembak”, SIM muncul tanpa ujian. Pada saat-saat tertentu dengan generosity yang luar biasa, bus polisi keliling untuk melayani perpanjangan SIM. Ini semua hanya membantu memudahkan untuk mengendarai motor di jalan. Namun, sekali lagi kesadaran kebersamaan, menjaga harmoni, dan menghormati orang lain tidak disentuh.
Kejelasan hukum

Itu semua adalah contoh bagaimana hal yang sangat serius digampangkan. Dalam jagat akademik pun, diam-diam ada dosen yang suka main gampang-gampangan dalam membimbing tesis. “Tinggalkan cek yang tebal. Dalam tempo tiga hari, skripsi akan jadi dan siap uji”.

Hal yang sederhana dan tidak terlalu berkaitan dengan persoalan politik pejabat tinggi ini sebenarnya bisa kita atasi perlahan-lahan. Caranya dengan hukum yang jelas dan tegas penegakannya. Ini jauh lebih efektif ketimbang penataran, budi pekerti, dan khotbah.

Jadi, pembentukan karakter bangsa pun harus bermula dari hukum yang jelas. Bukan dengan kata-kata tinggi, melainkan sanksi bagi yang salah dan hadiah bagi yang selalu menjaga keselarasan

BAKDI SOEMANTO
Kolumnis dan Pengamat Kebudayaan

Minggu, 20 November 2011

Neutrino dan Peluang Mesin Waktu – Laporan Iptek KOMPAS

Neutrino dan Peluang Mesin Waktu – Laporan Iptek KOMPAS
Agnes Aristiarini
(disadur dari KOMPAS edisi 2 November 2011)

Di dalam buku fiksi ilmiah Timeline (1999), Michael Crichton menulis tentang mesin waktu yang berbasis pada ilmu fisika modern: mekanika kuantum(1). Tubuh manusia yang dikirim ke masa lalu dipecah menjadi partikel-partikel dan kemudian disatukan kembali di tempat tujuan.
Di dalam kehidupan nyata, dunia ilmu pengetahuan baru saja dikejutkan oleh temuan partikel subatomik neutrino yang bergerak melampaui kecepatan cahaya. Temuan yang diumumkan sebulan lalu itu, pada akhir Oktober diuji coba lagi untuk membuktikan bahwa kesimpulan ini bukanlah sekadar spekulasi.
Seperti yang ditulis dalam jurnal ilmiah Nature, temuan luar biasa itu berasal dari percobaan OPERA, Oscilliation Procect with Emulsion-tRacking Apparatus. Percobaan berlangsung 1.400 meter di bawah tanah di Laboratorium Nasional Gran Sasso, Italia. Di sini, para ilmuwan menghitung berapa lama waktu tempuh neutrino yang dikirim dari CERN(2), suatu laboraturium fisika partikel di dekat Geneva, Swiss, dengan jarak 731 kilometer.
Perjalanan itu ternyata membutuhkan waktu 2,4 milidetik. Harian The Guardian menyebutkan, hasil tersebut diperoleh setelah melakukan ujicoba selama tiga tahun dan mengukur waktu kedatangan 15.000 neutrino. Dengan kecepatan cahaya 299.792.458 meter per detik, neutrino yang melesat pada kecepatan 299.798.454 meter per detik itu telah melampaui kecepatan cahaya.

Neutrino


Menurut Prof. Dr. Terry Mart, Ketua Peminatan (Konsentrasi) Fisika Nuklir dan Partikel Teori di Departemen (Jurusan) Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, neutrino adalah partikel yang sangat ringan, hampir tidak bermassa.
Kehadiran neutrino diprediksi oleh Wolfgang Pauli (terkenal dengan asasnya, asas larangan Pauli) pada 1931 untuk menjelaskan peluruhan beta, suatu transformasi neutron menjadi proton plus elektron. “Tanpa neutrino, momentum anguler(3) reaksi menjadi tidak sama sebelum dan sesudah reaksi sehingga tidak sesuai dengan hukum kekekalan energi(4).” kata Terry.
Neutrino yang tidak bermuatan berinteraksi dengan materi lain hanya melalui gaya lemah sehingga mampu menembus Bumi, bahkan unsur terpadat, seperti timbal, sekalipun.
Tahun 1934, Enrico Fermi mengembangkan teori yang lebih komprehensif tentang peluruhan radioaktif ini dengan melibatkan partikel hipotetik(5) dari Pauli. Partikel ini disebut Fermi sebagai neutrino, dalam bahasa Italia berarti “si kecil yang netral”. Dengan neutrino, teori Fermi secara akurat telah menjelaskan berbagai hasil eksperimen.
Namun, baru tahun 1959 Clyde Cowan dan Fred Reines membuktikan kehardiran partikel yang karakteristiknya mirip dengan neutrino. Reines kemudian menerima Nobel Fisika tahun 1995 atas kontribusinya dalam penemuan itu.

Ditanggapi skeptis

Kembali pada temuan neutrino yang bergerak melebihi kecepatan, temuan spektakuler ini ditanggapi skeptis oleh para peneliti lainnya. Mereka berbasis pada pendapat James Clerk Maxwell bahwa kecepatan cahaya adalah kecepatan tertinggi di semesta.
Teori Maxwel kemudian disempurnakan Albert Einstein dengan teori relativitas khusus(6). Banyak perkembangan ilmu fisika modern yang berlandaskan teori ini. Dengan demikian, apabila sampai ada materi yang bergerak melebihi kecepatan cahaya, waktu akan menjadi kacau.
Tidaklah mengherankan apabila sejak September ada lebih dari 80 karya ilmiah membahas temuan ini di arXiv Preprint Server, suatu situs yang memuat banyak karya ilmiah – terutama Fisika – dan dikelola oleh Perpustakaan Universitas Cornell, Amerika Serikat.
Keskeptisan itu pula yang memicu uji coba ulang temuan tersebut. Menurut Direktur Riset CERN Dr Sergio Bertolucci, seperti dikutip BBC News, “Dalam beberapa hari ini, kami akan mengirim kembali sinar dalam berbagai struktur waktu yang berbeda ke Gran Sasso”.

Neutrino yang muncul di Gran Sasso berawal dari sinar partikel proton di CERN. Melalui seri interaksi yang kompleks, partikel neutrino kemudian dibangkitkan dari sinar itu dan meluncur melalui kerak Bumi menuju Italia. “Cara ini memungkinkan OPERA untuk mengulang pengukuran dan menyingkirkan beberapa kesalahan sistematis”, kata Bertolucci menjelaskan.

Mesin waktu

Spekulasi terbesar dari temuan ini tentu saja adalah kemungkinan diwujudkannya mimpi para ilmuwan: mesin waktu. Bahkan, Bertolucci pun tergoda ntuk berkomentar. “Kita semua suka dengan ide mesin waktu, tetapi itu tampaknya masih sangat sulit.”
Orang membayangkan, dengan mengunakan neutrino, perjalanan ke masa lalu dan masa depan bisa dilakukan. Memang dari teori relativitas khusus yang diajarkan di SMA, waktu ataupun massa partikel menjadi imajiner jika kecepatan partikel melebihi kecepatan cahaya.
Menurut Terry Mart, interpretasi sebenarnya bisa bermacam-macam. “Mungkin saja partikel tersebut menghilang pindah ke masa depan. Hanya saja, kalau ke masa lalu, tidak mungkin karena melanggar hukum termodinamika(7),” ujarnya.
Namun, apabila eksperimen kolaborasi OPERA ini benar dan bisa dibuktikan dengan eksperimen-eksperimen lain, sebenarnya teori Einstein tidak perlu runtuh. “Ada kemungkinan neutrino itu masuk dimensi ruang keempat(8) sehingga kita bisa menempuh jarahdengan lebih singkat”, tutur Terry.
Meski demikian, memang tidak tertutup kemungkinan bahwa teori Einstein sekali waktu perlu dimodifikasi. Yang jelas, ilmu fisika kembali unjuk gigi.
Selama ini, hampir semua teknologi modern berbasis teori fisika, dari teori mekanika newton untuk gerak benda-benda makro hngga teori partikel yang mendeskripsikan dinamika materi elementer . sayang sekali kalau ilmu ini masih kurang dihargai di Indonesia.


Keterangan (dari penyadur)

(1) Fisika modern akan dipelajari di kelas XII semester genap. Fisika modern tidak akan ajarkan secara menyeluruh dan lengkap, guru hanya mengajarkan soal-soal yang memang benar2 ada di soal UAN.
(2) CERN atau dalam bahasa Indonesia: Organisasi Eropa untuk Riset Nuklir (singkatan dari bahasa Perancis: Organisation Européene pour la Recherche Nucléaire, bahasa Inggris: European Organization for Nuclear Research) adalah sebuah kompleks laboratorium percepatan partikel terbesar di dunia yang terletak di perbatasan antara Perancis dan Swiss, persis di sebelah barat Jenewa.
(3) Momentum anguler (atau juga disebut momentum sudut) adalah hasil kali (cross product) momen inersia I dengan kecepatan anguler (kecepatan sudut) ω. Jadi setiap benda yang bergerak melingkar pasti memiliki momentum anguler.
L = I ω dengan p = m v (p adalah momentum linier) 
Momentum anguler merupakan besaran vektor.
(4) Hukum Kekekalan Energi menjelaskan bahwa energi tidak bisa diciptakan ataupun dimusnahkan dan hanya bisa diubah bentuknya dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
(5) Partikel hipotetik : partikel tertentu yang masih disebutkan dalam tahapan hipotesis (belum terbukti kebenarannya secara empiris, tetapi secara teoretis dibenarkan)
(6) Teori atau postulat relativitas khusus ditemukan pada tulisan Einstein tahun 1905, "Tentang Elektrodinamika Benda Bergerak". Relativitas khusus menunjukkan bahwa jika dua pengamat berada dalam kerangka acuan lembam (atau juga disebut kerangka acuan inersia) dan bergerak dengan kecepatan sama relatif terhadap pengamat lain, maka kedua pengamat tersebut tidak dapat melakukan percobaan untuk menentukan apakah mereka bergerak atau diam. Bayangkan ini seperti saat Anda berada di dalam sebuah kapal selam yang bergerak dengan kecepatan tetap. Anda tidak akan dapat mengatakan apakah kapal selam tengah bergerak atau diam. Teori relativitas khusus disandarkan pada postulat bahwa kecepatan cahaya akan sama terhadap semua pengamat yang berada dalam kerangka acuan lembam.
Postulat lain yang mendasari teori relativitas khusus adalah bahwa hukum fisika memiliki bentuk matematis yang sama dalam kerangka acuan lembam manapun. Dalam teori relativitas umum, postulat ini diperluas untuk mencakup tidak hanya kerangka acuan lembam, namun menjadi semua kerangka acuan.
(7) Hukum termodinamika yang terkait pada persoalan tersebut adalah hukum termodinamika pertama. Hukum ini terkait dengan kekekalan energi. Hukum ini menyatakan perubahan energi dalam dari suatu sistem termodinamika tertutup sama dengan total dari jumlah energi kalor yang disuplai ke dalam sistem dan kerja yang dilakukan terhadap sistem.
(8) Dimensi ruang keempat: dimensi ruang yang belum diketahui. Mengapa belum diketahui? Karena selama ini kita hanya mengenal dimensi pertama, kedua, dan ketiga (biasa disebut sumbu x, y, dan z)

“Menteknologikan Manusia” sebagai antitesis “Memanusiakan Teknologi”

“Menteknologikan Manusia” sebagai antitesis “Memanusiakan Teknologi”

Hasil perenungan jiwa yang mendalam (bukan hasil galau belaka!) karya Valentino Gratia

Dunia hari-hari ini benar-benar individualis. Kita benar-benar disibukkan dan seolah-olah terjepit dan terdesak oleh suatu “sistem” yang membuat kita terdorong untuk hanya mempedulikan diri sendiri. Kemudian karena dorongan dan desakan tersebut, kita jadi tidak ada waktu lagi untuk merenungkan seperti apa peradaban manusia (dan teknologi adalah salah satu peradaban manusia) di masa depan nanti.

Pernahkan anda merenung sejenak dari kesibukan dan kejenuhan anda sehari-hari dan kemudian pikiran anda terajak untuk menemukan pertanyaan-pertanyaan ini:
Kenapa manusia harus mengalami kelelahan saat harus membawa beban berat atau di medan tanjakan?Bisakah proses “belajar” digantikan dengan suatu proses lain yang lebih cepat, lebih simpel, dan tetap menghormati hak privasi orang lain?Mengapa suasana hati atau perasaan emosional manusia harus ditentukan oleh serangkaian reaksi kimiawi yang saling berkaitan dan kompleks? Bisakah reaksi tersebut dikendalikan dengan suatu “sistem” tertentu agar tidak ada lagi yang namanya rasa kecewa, rasa dendam, rasa benci, amarah berlebihan dan yang lainnya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin tidak pernah muncul di pikiran anda. Tetapi jujur, pertanyaan seperti itu rasanya menumpuk di kepala saya karena belum saya kemukakan sama sekali ke orang lain (selain orang tua saya).

Saya kemudian merenung dan menyadari bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, kita hanya menggunakan dan memanfaatkan teknologi tetapi teknologi itu sendiri tidak benar-benar menyatu dengan diri kita.
Dengan kata lain manusia dengan teknologi terpisah satu dan yang lainnya.

Pertanyaan pertama membawa saya pada suatu konsep mengenai manusia – mesin di masa depan. Mobil dengan sistem transmisinya dengan gearbox dan gir (roda gigi) yang melengkapinya berfungsi untuk menyesuaikan momen gaya mesin disesuaikan dengan beban dan kecepatan roda. Apa yang saya ketahui tersebut membawa saya pada mimpi suatu saat nanti manusia bisa bergerak dengan berbagai macam tingkat kecepatan (dilengkapi sistem transmisi) tetapi dengan modifikasi tertentu agar bisa disesuaikan dengan otot-otot (komponen biologis) yang ada pada kaki manusia.
Kemudian, saya teringat lagi bahwa mobil (atau kendaraan pada umumnya) punya tingkat percepatan karena gerak poros pada mesinnya adalah gerak rotasi, bukan gerak translasi. Sedangkan berbagai macam gerak yang bisa dilakukan manusia adalah gerak translasi. Karena ketidakmampuan manusia menghasilkan gerak rotasi, saya tambahkan satu konsep lagi bahwa di masa depan nanti ada suatu “konverter” yang bisa mengubah gerak translasi pada manusia bisa diubah menjadi gerak rotasi.

 Pertanyaan kedua dan ketiga membawa saya pada suatu konsep bahwa komponen biologis pada otak manusia akan dimodifikasi / ditambahkan suatu rangkaian elektronika dengan modifikasi tertentu. Rangkaian elektronika tsb ada port-nya (misalnya USB pada saat ini) dan bisa dihubungkan dengan suatu storage device semacam harddisk atau removable device seperti misalnya flash memory untuk penyimpanan sementara. Rangkaian elektronika tersebut punya suatu chip sentral yang berfungsi untuk mengendalikan mengkonversikan sinyal-sinyal listrik pada rangkaian elektronika menjadi sinyal-sinyal (impuls) yang bisa diterima oleh sistem syaraf manusia.
Kita misalkan kemampuan, bakat, talenta yang dimiliki manusia adalah analog dengan software atau perangkat lunak pada komputer. Misalkan saya bisa berhitung, saya bisa memasak, atau bisa apalah yang lainnya. Kemudian ada orang lain yang ingin belajar pada saya. Nah, di masa depan kita tidak perlu belajar repot-repot lagi. Kita bisa saling bertukar pikiran, bertukar bakat, bertukar talenta antara satu dan yang lainnya dengan saling menghubungkan port pada manusia satu dengan port pada manusia yang lainnya.
Kemampuan manusia yang analog dengan software tsb ditentukan dalam suatu sistem perlindungan hak cipta. Semakin tinggi tingkat kemampuan software-nya semakin mahal harganya dan setiap orang yang memiliki kemampuan berhak untuk menentukan sendiri harga kemampuan (atau software) yang dimilikinya jika orang lain ingin “belajar” atau “mengunduh” kemampuannya.
Chip central tersebut juga berfungsi sebagai konverter terhadap komponen biologis manusia yang kerjanya mengendalikan reaksi kimia yang mengendalikan emosi pada manusia. Harddisk atau storage device masa depan yang terhubung dengan rangkaian elektronika tadi menyimpan serangkaian perintah (atau setting-an tertentu) yang mengatur regulasi / pengeluaran zat-zat kimiawi yang mengatur emosi manusia. Tujuannya agar reaksi kimia beserta pengeluaran zat kimiawi yang mengendalikan emosi kita tersebut bisa kita atur agar tidak berlebihan. Dengan demikian, kita bisa mengatur dan menunda perasaan emosi kita yang seringkali tidak ada gunanya.

Semua mimpi tersebut, membawa saya pada suatu kesimpulan bahwa di masa depan nanti, entah itu 1 abad atau 2 abad kemudian, manusia dengan teknologi bukan 2 komponen yang terpisahkan lagi seperti pada saat ini. Kata “memanusiakan teknologi” yang menjadi filsafat pada perkembangan teknologi dan kemajuan manusia yang pada dasarnya merekayasa dan menyesuaikan semua alat agar “manusiawi” berubah menjadi suatu filsafat bahwa di masa depan nanti, kata ini menjadi “menteknologikan manusia”. Bukan teknologi lagi yang dipaksa agar bisa “manusiawi”, agar menyesuaikan diri dengan kita. Kita juga di”teknologi”kan dengan modifikasi-modifikasi tertentu.
Meskipun konsep dan implementasi dari modifikasi-modifikasi yang saya sebutkan tadi belum dikonkretkan (bisa dinyatakan dan benar-benar dijabarkan), atau dalam kata lain hanya mimpi.


Keyakinan saya tersebut didasari dari logika atau akal (sistem otak kiri) saya. Otak kanan (perasaan) mengingatkan saya, bahwa Tuhan yang menentukan semuanya ini bisa terjadi. Akhirnya saya bertanya dan membawakannya pada doa, “Tuhan, saya bukannya ingin mendahului Engkau. Aku tahu aku harus mensyukuri apa yang aku punya. Tapi apa daya kodratku ini memaksa aku untuk bermimpi melebihi batas-batas yang Engkau tentukan. Apakah engkau mengizinkan mimpiku ini terjadi, Tuhan? Apakah aku berdosa dengan mimpi-mimpi ku ini yang terdengar gila?”

Saya sadari, mimpi-mimpi saya tadi memang terdengar gila, diluar kebiasaan, di luar batas, di luar kelaziman, bahkan mungkin diluar norma-norma yang ada. Adalah tujuan etis bagi saya, untuk membagikan dan men-sharing-kan mimpi saya melalui tulisan ini. Saya harap anda bisa mengkomentari pendapat saya.