Kamis, 29 Desember 2011

PLAYING GOD?

PLAYING GOD?
Maykada Harjono
(disadur dari Majalah IT PC Media, edisi Agustus 2010)

Film Teminator salah, kiamat tidak terjadi tahun 1997. Ya, tapi Terminator benar, manusia akhirnya kalah dari mesin.

Betul, manusia sekarang dijajah mesin bernama jaringan Internet, kata teman saya sambil tersenyum. Komentar tersebut terjadi sambil lalu, antara saya dan teman di Facebook. Penulis cerita di film Terminator 2 mengambil rentang waktu terlalu pendek, 1997. Judgement Day nyatanya tidak terjadi. Arnold Schwarzenegger tidak perlu repot menghalau manusia robot yang die hard, sudah matinya!

Manusia mengambil kuasa Tuhan, menentukan hari kiamat. Playing God-kah? Entah kenapa, ada pihak yang gemar memakai istilah ini, padahal potensinya berbahaya. Di game memang dikenal istilah “God Mode”, tapi game bukanlah kenyataan. Mengibaratkan manusia sebagai Tuhan, seperti sosok Firaun dulu. Akibat sikap takabur yang kelewat batas, akhirnya dia binasa, kelelep di Laut Merah. Apakah pihak yang berkuasa mampu membuat peraturan aau keputusan dengan semena-mena, sedang memainkan peran sebagai Tuhan? Nanti dulu. Mari kita lihat contoh-contoh berikut.

Tim dokter RSCM sukses memperpanjang umur kembar siam Ana-Ani. Hakim MA memutuskan Amrozi dkk ajalnya berakhir di ujung pelor. Densus 88 berbekal “license to kill” mencabut nyawa 4 teroris di Solo. DPR dan Presiden membuat UU sehingga Prita menginap di penjara gara-gara e-mail.

Apakah mereka semua sedang playing God? Mari kita balik situasinya. Presiden SBY stress, tak bolah lambaikan tangan oleh Paspampres. Setiap tahun, 350 polisi dipecat karena melanggar HAM. Komisi Yudisial meminta pemecatan 2 hakim akibat melanggar kode etik. Diduga lakukan malpraktek, dokter RSCM dipolisikan.

Nah, kalau begini, apa masih bisa disebut playing God? Presiden tuntuk pada pengawalnya, yang terikat oleh aturan pengamanan presiden. Aturan disahkan oleh DPR. DPR dan Presiden dipilah oleh rakyat. Menguasai dan dikuasai menjadi sangat relatif. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki ketergantungan dengan manusia yang lain. Aturan dibuat agar terjadi keharmonisan dalam hubungan antarmanusia, syaratnya, aturan tersebut sesuai kaidah-kaidah yang ada dan dipatuhi bersama. Seperti dalam permainan, bila tidak ada aturan, bagaimana permainan akan dilakukan?

Baiklah, tapi saya seorang pembuat program, dan ingin membuat bahasa komputer sesuka saya. Saya ingin menukar keyword const (konstanta berupa kata kunci) untuk menyatakan variabel, dan var untuk menyatakan konstanta. Tidak masalah, itu hal mudah. Saya mengerti, mesin mengerti, dan program berjalan. Tapi masalahnya, siapa orang yang mau memakai bahasa saya dan menganggap saya adalah Tuhan?

Kita pasti kenal Intel sebagai jawara processor PC nomor satu. Suatu ketika, Intel ingin mengubah dunia. Dibuatlah processor 64-bit bernama Itanium. Saya adalah PC, dan PC adalah saya, barangkali begitu di benak orang dalam Intel. Tapi Intel kecele, karena Itanium nasibnya seperti lagu Wali, tak laku-laku! Microsoft pun emoh melanjutkan Windows versi workstation untuk Itanium. Intel banting setir, gagal menjadi Tuhan, dan malah menjadi hantu AMD dengna melisensi x64.

Mahakuasa adalah salah satu sifat Tuhan. Dalam Islam, sifat Tuhan diuraikan menjadi 99 nama atau Asma’ul Husna. Manusia mencitrakan sifat-sifat yang dimiliki Tuhan, tetapi bukan lantas berperan sebagai Tuhan. Saya terkenang kata-kata pengasuh majalah Sufi, bahwa Tuhan tidak terikat dengan ruang dan waktu. Manusia berkuasa karena diberi ruang oleh sesamanya, dan tersedia waktu untuknya bekerja. Apapun yang dilakukan manusia, pasti terikat ruang dan waktu. Sangat sulit membayangkan tidak mengenal ruang dan waktu. Teori fisika modern karya Albert Einstein, E = mc2 (termasuk teori lainnya yaitu kecepatan relativistik, dilatasi waktu, perubahan panjang, perubahan massa, dan momentum dan energi relativistik) tidak berlaku di sini. Sungguh abstrak dan absurd.

Di hari kebangkitan nasional yang kian terlupakan, seorang sejarawan mengingatkan, pendiri republik ini adalah pemimpin cerdas dan tercerahkan. Otaknya cair dan hatinya juga cair. Hasilnya, bangsa Indonesia yang besar. Meminjam kuasa Tuhan, setiap kita adalah pemimpin dalam ruangnya masing-masing. Nah, apakah barang pinjaman itu akan kembali dalam wujud batu yang rawan hancur sewaktu-waktu, ataukah air yang mengalir sampai jauh? Mari sama-sama kita renungkan.

posting: 16/06/2011, 18.30 

Korupsi dan Keluhuran, sebuah kritik berbau ilmiah karya Jansen Sinamo

Korupsi dan Keluhuran
(Jansen Sinamo – disadur dari KOMPAS edisi 21/06/2011)

Seorang profesor fisika, Pantur Silaban namanya, dosen kami dulu di bandung berkata bahwa alam tidak pernah korupsi. Elektron, misalnya hanya bersedia menerima jatah energi yang sudah ditetapkan alam baginya sebesar kelipatan bulat konstanta Planck.*

Alam bekerja dengan prinsip “secukupnya”, tidak pernah kelebihan dan tidak pernah pula kekurangan. Ini sesuai pula dengan selarik doa klasik (sebenarnya doa Bapa Kami), “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.” Bukan makanan lima tahun untuk pemilu berikutnya!

Ini mengejutkan seisi kelas pagi itu. saat itu kami tidak sedang mengikuti kuliah Pancasila atau Agama atau Etika, tapi kuliah Fisika Kuantum yang super-rumit.

Namun, pada titik inilah sesungguhnya sang profesor berhasil menampilkan fisika melampaui aspek teknisnya dan menonjolkan wajah keluhurannya yang mulia dan cemerlang. Di tangan dosen ini fisika yang kuyup dengan matematika canggih itu tiba-tiba bisa berubah menjadi kuliah keluhuran dan keagungan. Jelas teringat, hati kami selalu tergetar pada momen-momen “intermeso” begini.

Sosok Silaban pasti tidak ada di benak B Herry Proyono, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta – ketika Ia mengatakan dalam endorsement sebuah buku, “Mendidik bukan pertama-tama urusan membuat murid pintar pelajaran matematika atau ekonomi, tetapi urusan kesetiaan menemani murid untuk menghasrati apa yang luhur dan memperoleh kebiasaan-kebiasaan hidup yang luhur. Pelajaran fisika ataupun geografi, sastra ataupun ekonomi, adalah sarana mendidikkan hasrat dan kebiasaan luhur itu.”

Tampaknya semua guru sejati sangat paham soal ini: sesudah materi yang teknis-matematis-faktual disajikan, sebuah mata pelajaran harus disublimasikan ke wilayah keluhuran sehingga para murid berkesempatan mencicipi nektar surgawi pelajarannya. Tapa nektar ini pelajaran sekolah apapun niscaya kehilangan madu-esensinya yang lezat, lalu hanya menjadi beban otak belaka, yang menjenuhkan dan segera terlupakan.

Serba berjamaah

Maka, kita sungguh kaget-tersentak oleh kisah nyontek berjemaah Mei lalu, yang justru difasilitasi oleh guru-guru di sebuah SD  di Jawa Timur. Sungguh sebuah ironi apabila ditengok dari kacamata pendidikan dan keguruan yang telah menjadi sendi peradaban dunia sejak era Confusius (Kung-fu Tzu) dan Socrates.

Ironi ini segera berubah menjadi tragedi saat Alif dan ibunya, Siami, yang menolak mencemarkan diri dan coba tampil menjadi protagonis keluhuran itu justru dijahati oleh massa yang dimobilisasi para penikmat proyek nyontek massal itu. kita mengurut dada, berduka, dan bertanya: Quo vadis pendidikan? Quo vadis keguruan? Quo vadis keluhuran? Quo vadis indonesia?

Ini harus kita jawab dengan tuntas dan saksama karena profesi keguruan adalan bunda semua profesi pengelola bangsa: hakim, jaksa, pengacara, polisi, politikus, birokrat, pebisnis, dan lain-lain. Secara operasional kita tahu, negeri bernama Indonesia ini sesunguhnya diselanggarakan oleh ratusan profesi mulia pada berbagai bidang kenegaraan di semua eselon administrasi dan tingkat operasi-birokrasi.

Akan tetapi, kalau bunda keluhuran dan bunda Indonesia ini, yakni kaum guru, dosen, pendidik, pengajar, widyaiswara, manggala, dan pembina, sudah rusak di hulunya, sangat mungkin terjadi bencana “sarus-marus” (satu rusak, semua rusak) di negeri kita.

Saya memang curiga, profesi keguruan yang sejatinya harus menjadi profesi utama dalam sebuah bangsa sejak Indonesia merdeka – terutama pada era Orde Baru – telah dipinggirkan secara sistematis menjadi profesi yang marjinal dan miskin. Profesi keguruan dikudeta oleh politikus dan kemudian militer. Buahnya kita tuai sekarang: keguruan Indonesia rusak parah sejak lama, dan sebagai akibatnya di daerah hilir profesi-profesi yang mengelola negara ini juga ikut rusak berat.

Wujudnya adalah korupsi besar-besaran yang terjadi di seua lini negara; eksekutif, legislatif, dan yudikati, serta berlangsung secara berjemaah, lintas profesi dan lintas sektur. Inilah sekarang yang disebut rezim kleptokrat.

Hidupkan keluhuran

Keluhuran, kemuliaan, dan keagungan adalah sublimasi kemanusiaan kita, yang di tingkat negara dirumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Keluhuran ini adalah bentuk tertinggi hidup kita yang jasmaniah, material, dan intelektual.

Apabila keluhuran ini merosot. Kehidupan di semua tingkat juga merosot, mendangkal, dan memburuk. Hidup menjadi serba sesak-sempit, didominasi hal yang material-komersial. Tak ada lagi pengorbanan, pelayanan, dan gotong-royong. Hilang sudah kejujuran, keadilan, dan persaudaraan. Telah lenyap bela rasa, kebaikan, dan cinta kasih. Indonesia terancam menjadi negara gagal bukanlah kekhawatiran berlebihan.

Maka keluhuran harus segera disemarakkan lagi dengan segera dan secara masif. Inilah tugas keguruan dan pendidikan sesungguhnya.

Kini Ibu Pertiwi memanggil semua guru. Bukan hanya mereka yang 3 juta dibawah naungan Kementrian Pendidikan Nasional, melainkan semua guru dalam semua organisasi bangsa, termasuk guru jemaat, guru mengaji, guru piano, guru karate, dan guru menjahit, hingga semua guru besar formal di universitas.

JANSEN SINAMO
Direktur Institut Darma Mahardika, Tinggal di Jakarta

Keterangan:
*) konstanta Planck : konstanta yang sering digunakan dalam Fisika Modern dan Fisika Kuantum
Harganya: h = 6,63 × 10-34 Js

Jumat, 02 Desember 2011

Membangun Karakter Bangsa

Oleh Bakdi Soemanto

(disadur dari KOMPAS edisi 23 Agustus 2011)

Dengan menyeruaknya berbagai masalah bangsa, semakin jelas bahwa salah satu sumber masalah adalah hilangnya kepercayaan masyarakat kepada para pemimpin, pejabat, dan petugas, di semua bidang.

Seorang supir taksi dari Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, berkomentar, “sepertinya Negara dengan segala aturannya sudah hilang. Orang boleh berbuat semau gue. “

Komentar semacam itu bisa dijaring dengan gampang di jalanan, di pasar, atau di mal. Opini tidak berdiri sendiri. Ia muncul karena menanggapi suatu kejadian. Nada dasar omongan orang jalanan itu, kalau ditangkap dengan telinga hati, menunjukkan kekecewaaan mendalam masyarakat kepada para pemimpin pemerintahan sekarang.

Dalam keseharian, tampak sederetan kebijakan dan kepututsan yang terasa kurang pas bagi akal sehat dan bahkan mengganggu rasa keadilan. Ketidakberesan di biarkan seakan-akan memang sudah sewajarnya. Semua ini membuat desas-desus tentang ketidaktepatan kebijakan terus berguir, yang menjadi benih-benih ketidakpercayaan kepada para pengambil keputusan. Bukankah ini potensi yang mengancam kohesivitas masyarakat?
Tidak sejalan

Gejala yang sangat menggelisahkan sekarang ini adalah yang dikatakan tidak ada hubungannya dengan yang dilakukan. Kata-kata ibart jagat maya yang bermain sendiri dan jumpalitan dengan kesibukannya, sama sekali tidak terkait dengan jagat realitas di dunia fana. Oleh karena itu, berbagai macam rumusan moral, budi pekerti, kearifan lokal, dan seterusnya tidak menunjukkan sentuhan yang efektif.

Semua ini menunjukkan ketidakjelasan arah tentang karakter bangsa . mungkinkah persoalan yang begitu kompleks bisa diatasi dengan budi pekerti, pendidikan Pancasila, dan khotbah para pemuka agama? Belajar dari pengalaman menatar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) pada era Orde Baru, saya ingin mengatakan bahwa cara-cara seperti itu tidak akan membawa hasil.

Sekian ratus tahun lalu orang sangat percaya bahwa “pada awal mula adalah kata dan kata menjadi daging”. Sekarang itu berubah menjadi “pada awal mula adalah kata dan kata tetap menjadi kata”.

Rendra pernah menulis sajak: “Perbuatan adalah pelaksanaan kata-kata”. Sekarang , “kata-kata adalah lanjutan permainan kebijakan politik”.

Puruts asa? Dengan tegas, saya jawab, “Tidak!” Kita masih bisa membenahi secara konkret dan langsung kena sasaran.

Perilaku semaunya

Di jalanan, kesemrawutan semakin hebat. Berbagai kota diserbu motor. Semua motor itu desainnya hampir sama: mirip dengan motor yang lari di arena balapan dengan kecepatan minimal 200 km/h.

Jadi, tampian para pengendara motor di jalan menjadi sangat mengerikan. Mereka memamerkan keterampilan super tanpa disertai kesadaran bahwa mereka di jalan umum, bukan di arena balapan. Dengan tenangnya, mereka berbondong-bondong di jalan umum mengendarai motor di sisi kanan jalan. Kadang, di sudut jalan ada dua atau tiga polisi, tetapi mereka tak tergerak menghentikan.

Polisi lalu lintas hanya tertarik mengurusi SIM, STNK, dan plat nomor. Setiap terjadi benturan antarkendaraan yang diusahakan adalah “damai saja”, bukan mengusut mana yang salah dan mana yang benar.

Banyak orang asing – ada Belanda, Amerika, Inggirs, dan Perancis – mengadu kepada saya tentang hal ini. Mereka tak paham hal-hal semacam ini, tetapi menjadi paham mengapa Pemerintah Indonesia tak bisa atasi korupsi: karena filsafat damai.

Salah satu sumbernya adalah kemudahan membeli motor dan mendapatkan SIM. Dengan uang Rp 500.000,- orang bisa bawa pulang motor baru. Dengan satu kali “tembak”, SIM muncul tanpa ujian. Pada saat-saat tertentu dengan generosity yang luar biasa, bus polisi keliling untuk melayani perpanjangan SIM. Ini semua hanya membantu memudahkan untuk mengendarai motor di jalan. Namun, sekali lagi kesadaran kebersamaan, menjaga harmoni, dan menghormati orang lain tidak disentuh.
Kejelasan hukum

Itu semua adalah contoh bagaimana hal yang sangat serius digampangkan. Dalam jagat akademik pun, diam-diam ada dosen yang suka main gampang-gampangan dalam membimbing tesis. “Tinggalkan cek yang tebal. Dalam tempo tiga hari, skripsi akan jadi dan siap uji”.

Hal yang sederhana dan tidak terlalu berkaitan dengan persoalan politik pejabat tinggi ini sebenarnya bisa kita atasi perlahan-lahan. Caranya dengan hukum yang jelas dan tegas penegakannya. Ini jauh lebih efektif ketimbang penataran, budi pekerti, dan khotbah.

Jadi, pembentukan karakter bangsa pun harus bermula dari hukum yang jelas. Bukan dengan kata-kata tinggi, melainkan sanksi bagi yang salah dan hadiah bagi yang selalu menjaga keselarasan

BAKDI SOEMANTO
Kolumnis dan Pengamat Kebudayaan